Sastra : Label kebudayaan

Bila kita berbicara mengenai sastra, tentu kita akan membicarakan tentang berbagai objek dari sastra itu sendiri, seperti novel, puisi, cerpen, essay dan hal lainnya yang berhubungan dengan sastra. Tentu seorang yang ingin memnjadi seorang sastrawan haruslah rajin dalam membaca karya sastra. Kenapa? Karena sebagian besar karya sastra yang ada di dunia ini dibentuk dalam bentuk tulisan yang dibukukan dan kemudian dipublikasikan. Jika, kita tahu bahwa sastra identik dengan membaca lalu apakah demikian dengan orang yang menggeluti bidang tersebut? Seorang sastrawan dengan strata tertentu mungkin akan membaca buku di setiap waktu luang yang dia miliki, dengan membaca dia akan menjadi lebih paham kenapa suatu karya dapat laris di pasaran (jika sang sastrawan berorientasi pada uang) dan juga tentu dia akan tahu kenapa karya sastra dapat disebut sebagai produk dari budaya tertentu (jika sang sastrawan lebih berorientasi pada kebudayaan). Namun hal itu tidak sepenuhnya benar jika kita menengok pada mahasiswa sastra yang ada di Indonesia, khususnya di UNDIP. Tempat saya kuliah.

Saya adalah seorang mahasiswa di jurusan Sastra Inggris UNDIP dan karena itu saya tahu benar apa yang dilakukan sebagian beasar mahasiswa sastra yang ada di UNDIP itu sendiri. Masalah kritis yang dihadapi oleh mahasiswa sastra di UNDIP adalah mereka terlalu memuja budaya baru yang berkembang di masyarakat dan cenderung lebih menekankan aspek kesenangan. Hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mahasiswa sastra di FIB UNDIP pada saat jeda kuliah, mereka lebih cenderung membicarakan tren yang berkembang di masyarakat seolah mengikuti tren murahan yang dibuat oleh pasar untuk mencuci otak mereka dengan segala sesuatu yang sebenarnya tidak penting seperti, Zeyn Malik yang keluar dari 1D, kemudian ada juga pembicaraan tentang artis-artis Korea, kemudian ada juga yang berjiwa sosial media yang setiap detiknya memperhatikan gadget mereka demi mengetahui tern bodoh lainnya, sementara di dalam perpustakaan yang notabene adalah tempat untuk membaca buku dan mencari sumber referensi ilmu yang berhubungan dengan sastra itu sendiri hanya dijumpai sedikit orang didalamnya dan tidak semuanya membaca atau belajar, ada yang malah cari wifi, ada yang membicarakan hal tidak penting lagi-lagi dan bahkan ada yang masuk ke perpustakaan dengan tujuan untuk ngadem (mencari udara sejuk yang berasal dari Air Conditioner). Hal yang ironis memang.

Belum lagi jika kita melihat ke pergaulan luar kampusnya, sama sekali tidak berhubungan dengan sastra, tingkat konsumeritas yang sangat tinggi diiringi dengan laju pemborosan bahan bakar yang terlampau tinggi juga dan kadang kalau kita melihat ke parkiran FIB UNDIP sekilas kita akan melihat bentuk miniatur PRPP, motor semua isinya. Sebuah ironi yang mencengangkan jika dilihat dari label mereka yang mencantumkan nama sastra. Seorang sastrawan seharusnya memiliki pemikiran yang jernih, bukan menirukan tren murahan yang ada di pasaran tapi membuat suatu terobosan baru yang mungkin akan menjadi tren pasar berikutnya. Inovasi sangat diperlukan di dunia yang baru ini, semua orang yang sudah kehilangan daya imajinasi akan terus mengikuti apa yang disajikan oleh pasar tetapi mereka yang masih mampu berimajinasi dan melakukan improvisasi terhadap imajinasi itu sendiri dialah yang akan sukses di dunia baru ini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Albert Einstein, “Knowledge is limited but imagination encircle the world.” Dengan kata lain mereka yang mengikuti tren pasar adalah orang berilmu yang tahu mana yang bagus dan mana yang tidak, sementara mereka yang mampu membuat tren itu laris dipasaran adalah orang yang berimajinasi karena dia tau apa yang akan laris di pasaran.


Post a Comment

0 Comments