Perkembangan
sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan,
Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta
dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat
pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Untuk sejarah
Mataram Islam Graff (1987) telah menulis buku dengan judul Awal Kebangkitan
Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa
yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat
transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan
besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang
berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai
kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan,
astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum.
Pengaruh sastra
Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya
sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa. Karya ini banyak
memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu
memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci
karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka
juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan
penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya
tersebut.
Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga munculah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ranggawarsita kebanyakan berupa manuskrip.
Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babak baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah.
Sedangkan pada
awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi
tersebut masih terkesan mengutamakan pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula
balai pustaka juga menerbitkan karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya
ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimaya (Adisusastra), Isin
Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma
Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya).
Sastra Jawa
modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah
dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa
pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat
masuk kedalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam
masyarakat Jawa.
Selain itu
pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra
Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta.
Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan
pengembangan sastra Jawa. Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang
kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra
barat dalam bentuk pengenalan genre baru.
0 Comments