Dalam khazanah perpuisian jawa, masyarakat jawa mengenal geguritan. Menurut Padmosoekotjo (1960:1920) geguritan atau guritan berarti ‘kidung’ atau ‘tembang’. Sebagai karya sastra berjenis puisi, gegurutan mempunyai aturan-aturan atau konvensi-konvensi tertentu yang mengatur bentuknya secara ketat.   Hutomo (1975:22) membedakan puisi jawa dalam dua kelompok yaitu puisi jawa tradisional dan puisi jawa modern puisi jawa tradisional berupa tembang, parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak. Puisi jawa modern berupa puisi bebas yaitu puisi yang tidak terikat oleh norma-norma ketat seperti yang dijumpai dalam puisi jawa tradisional (tembang). Contoh geguritan tradisional jawa:
Damaring praja aywa mati mati
Pelita istana janganlah pernah padam
Sadeging keprabon
Selama berdirinya kerajaan
Away kandheng madhangi jagade
Jangan berhenti menerangi dunianya
Mangka panariking reh sayekti
Sebagai daya tarik pemerintahan sejati
Ing pati pinanggih
Dalam kematian diketemukan
Kautameng prabu
Keutamaan raja

Geguritan tersebut berisi nasihat Rama kepada Widapatna. Rama mengajarkan kepada Widapatna bahwa tugas raja adalah untuk menciptakan kesejahteraan. Untuk itu, raja harus menjaga rakyatnya dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesengsaraan. Sehubungan dengan hal itu, raja harus senantiasa menjadi penerang bagi seluruh isi kerajaan.
Unsur  majas metafora dalam geguritan tersebut tampak pada keseluruhan teks. Artinya, semua larik dalam geguritan tersebut merupakan metafora. Di samping mengandung makna tersurat, geguritan itu juga mengandung makna tersirat. Secara tersurat geguritan itu berisi ajaran tentang kewajiban dan tanggung jawab raja terhadap kerajaan beserta segenap isinya. Raja harus senantiasa menjadi pelita bagi segenap isi kerajaan.
Namun, secara tersirat geguritan tersebut mengandung isi ajaran yang lebih dalam, yaitu berisi ajaran tentang makna  hidup dan kehdupan. Manusia dalam hidupnya harus senantiasa berbuat baik dengan dilandasi akan pikiran agar kelak setelah mati bisa mendapatkan kemuliaan. Makna tersirat tersebut dapat digali dengan cara mengupas makna kias yang tersembunyi di balik kalimat metaforisnya. Dalam teks disebutkan kalimat damaring praja ‘pelita istana’. Kata ‘pelita istana’ mengandung makna kias, yaitu pelita yang menerangi diri manusia. Pelita yang menerangi diri manusia adalah hati atau akal pikiran. Frasa sadege kebrabon berarti ‘selama menjadi raja’ maksudnya adalah ‘selama hidup’. Kalimat Away kandheng madhangi jagade berarti ‘jangan berhenti menerangi dunia’. Maksud kalimat ‘jangan berhenti menerangi dunia’ adalah harus senantiasa berbuat kebajikan. Kalimat Ing pati pinanggih kautameng prabu berarti dalam ‘kematian ditemukan keutamaan raja’. Maksudnya, jika mati rohnya akan mendapatkan kemuliaan.

Serat Mumulen (Suntingan Teks Dan Kajian Semiotik)

Serat Mumulen dapat dikategorikan ke dalam naskah berjenis simbolik yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dan mengetahui simbol dan makna sesaji. Naskah Serat Mumulen dengan ukuran 16 x 21 cm ditulis di Surakarta abad 19, menceritakan tentang acara keraton yakni persembahan atau sesaji untuk leluhur keraton Surakarta Khususnya untuk para Nabi pada pakubuwana IX (1861-1893). Selain mengungkap makna dan simbol, serat mumulen mendiskripsikan tokoh pada masa kerajaan demak, pajang, dan surakarta yang berhubungan dengan kejayaan kerajaan hingga saat ini. Maka setiap tokoh harus diingat dan diberikan sesaji sesuai kriteria yang ada, dengan begitu masyarakat jawa bisa mendoakan para leluhur. Contoh : Kanjeng Sultan Demak diberikan sesaji nasi punar dan sambal kedelai. Sajen tersebut diberikan karena masyarakat berkeyakinan adanya wujud rasa syukur. Analisis Naskah Serat Mumulen menunjukkan bahwa pemaknaan yang dilakukan terhadap naskah Serat Mumulen mempresentasikan simbol-simbol sesaji berupa makanan, bunga dan buah-buahan pada acara hajat mantu di Keraton pada masa Pakubuwana I sampai Pakubuwana X, serta mengungkap penanda dan petanda dalam simbol yang terdapat dalam sesaji. Sesaji adalah media atau sarana untuk mengingat dan mendoakan leluhur. Masyarakat jawa masih mengenal sesaji sampai sekarang. Namun tradisi masyarakat jawa saat ini dianggap mistis, irasional, dan sebutan yang terkesan negatif oleh masyarakat moderen. Hanya sedikit yang melihat yang melihat sebagai menifestasi bentuk lain dari doa. Dengan kata lain sesaji diartikan wujud dari sistem Religi masyarakat Jawa. Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat jawa, salah satunya sesaji dalam hajatan pernikahan yang terdapat dalam naskah serat mumulen yang harus dipertahankan.